Jumat, 27 Maret 2015

KELOMPOK PENYAKIT IMUN

KELOMPOK PENYAKIT IMUN Penyakit imun dibedakan dalam 3 kategori, walaupun kategorisasi ini tidak terlalu memuaskan. 1) Penyakit Berwahana Imunologik Fungsi dasar dari sistem imun, yaitu mendeteksi dan melenyapkan setiap substansi yang masuk dalam tubuh yang dikenal sebagai asing. Dalam melangsungkan fungsi tersebut, tubuh melibatkan berbagai jenis sel dan produk sel, yang satu sama lain berinteraksi dalam upayanya melenyapkan konfigurasi asing tersebut. Biasanya dalam interaksi tersebut berlangsung efisien dan berhasil tanpa meninggalkan sisa-sisa konfigurasi yang ditinggalkan untuk tubuh inang. Dalam hal ini berlangsung respons imun yang berakhir sukses. Tetapi kadang-kadang terjadi hal lain, ketika jenis antigen yang disajikan kepada sistem, atau karena reaktivitas dari pihak tubuh yang tidak wajar, berlangsunglah gangguan yang menjurus kepada keberadaan sisa-sisa antigen yang berakibat merugikan tubuh. Gangguan yang merugikan tersebut dinamakan penyakit berwahana imunologik (immunologically mediated diseases) Terdapat 3 tahap respons tubuh terhadap semua substansi, yang kemajuan prosesnya bergantung pada 2 faktor, yaitu (1) sifat substansi yang dihadapi sistem dan (2) susunan genetik tubuh. Adapun 3 jenis respons tersebut yaitu: a. Respons non-spesifik yang merupakan Respons Primer, Respons yang bersifat non-spesifik merupakan respon pertama dalam menghadapi konfigurasi, berbentuk proses fagositosis dan peradangan. Apabila sistem berhasil penuh dalam menghadapi konfigurasi tersebut tanpa adanya sisa-sisa yang ditinggalkan, maka respons selanjutnya akan disudahi. Tetapi kadang-kadang beberapa substansi tidak secara sempurna dilenyapkan, melainkan masih menetap dalam jaringan tubuh. b. Respons spesifik yang merupakan Respons Sekunder, Dalam kondisi sistem tidak sempurna melenyapkan substansi, berlangsung reaksi sekunder yang merupakan respons spesifik yang mekanismenya lebih canggih. Pada mekanisme tersebut terdapat 2 kemungkinan mekanisme efektor, yaitu (i) mekanisme imunitas humoral spesifik yang melibatkan limfosit B, dan (ii) mekanisme imunitas selular spesifik yang melibatkan limfosit T. Dalam mekanisme efektor humoral diproduksi berbagai kelas antibodi, yaitu IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD, sedangkan pada mekanisme efektor selular diproduksi berbagai jenis sitokin yang akan bekerja pada sasarannya. Pada respons sekunder ini, konfigurasi asing, baik sebagai partikel atau mikroba dapat seharusnya secara sempurna dilenyapkan oleh kedua jenis mekanisme efektor yang bersifat spesifik. c. Kerusakan jaringan yang termasuk Respons Tertier. Tetapi respons sekunder mungkin tidak dapat berhasil melenyapkan antigen, sehingga masih tetap persisten dalam tubuh. Dalam kondisi ini, respons tubuh masuk dalam tahap tertier, yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan. Pada tahap ini, terjadilah kerusakan jaringan yang menimbulkan gejala penyakit yang dapat bermanifestasi sebagai penyakit imunologik dalam beberapa bentuk jenis: yaitu hipersensitivitas, penyakit autoimun dan keganasan. 2) Gangguan Proliferatif Sistem Imun Beberapa penyakit imun pada manusia mempunyai ciri adanya proliferasi luar biasa dari sel-sel yang dalam kondisi normal terlibat dalam respons imun. Apabila proliferasi tersebut menyangkut sel-sel yang berhubungan dengan produksi dan sekresi imunoglobulin sebagai efektor dalam respons imun humoral, gangguan ini akan berkaitan dengan adanya produksi imunoglobulin yang sangat berkelebihan, yang justru disertai dengan ciri adanya gangguan pada imunoglobulinnya juga. Beberapa penyakit yang termasuk dalam kelompok ini yaitu: multiple myeloma, macroglobulinemia, dan penyakit rantai berat antibodi. Ketiga gangguan ini sering disebut: “monoclonal gammopathy”. Di samping gangguan-gangguan tersebut masih terdapat penyakit yang melibatkan proliferasi yang berlebihan pada limfosit yang digolongkan dalam limfoma dan leukemia limfatik. Kita ketahui bahwa Imunoglobulin yang diproduksi dalam rangka respons terhadap berbagai jenis antigen yang terpapar kepada manusia menunjukkan heterogenitas yang besar. Telah dibahas dalam Buku Imunobiologi, bahwa efektor humoral spesifik menunjukkan adanya diversitas antibodi yang mampu menampilkan heterogenitas yang besar. Diversitas antibodi tersebut haruslah sebagai produk dari populasi sel yang heterogen pula. Populasi sel yang heterogen tersebut diperkirakan menyangkut sekitar 108 klon yang setiap klonnya berpotensi memproduksi sebuah spesifisitas antibodi. Sehingga sebuah klon sel limfosit B akan memproduksi sejumlah molekul imunoglobulin dalam bentuk homogen dari aspek spesifisitasnya. Apabila salah satu dari klon yang jumlahnya diperkirakan 108 tersebut terpilih untuk proliferasi yang tidak terkendali, dan sel-sel tersebut masih mampu menghasilkan molekul-molekul antibodi, maka dapat diharapkan akan diperoleh molekul imunoglobulin dalam jumlah yang sangat besar. Jika situasi tersebut berlangsung, mereka dilihat sebagai suatu abnormalitas sistem imun atau sistem gamma (γ) yang muncul dari sebuah klon sel yang abnormal. Alasan itulah yang digunakan untuk memberikan istilah monoclonal gammopathy pada penyakit yang disebabkan proliferasi yang berlebihan dari sebuah klon limfosit B. Multiple myeloma merupakan salah satu jenis penyakit yang termasuk dalam monoclonal gammopathy. Pada penyakit ini berlangsung proliferasi ganas dari plasmasit. Penampilan yang berbeda pada gangguan proliferatif tersebut dapat dipandang dari beberapa penyebab yang berbeda: (1) ekspansi massa sel; (2) elaborasi protein oleh sel yang berproliferasi; dan (3) keterkaitan dengan supresi sintesis antibodi normal. Dalam kondisi pengembangan penuh dari penyakit ini, akan terjadi perluasan myeloma hingga mencapai sistem kerangka, sumsum tulang, ginjal dan sistem saraf. 3) Penyakit Defisiensi Imun Defisiensi imun mencerminkan adanya gangguan satu atau lebih mekanisme/fungsi utama dalam imunitas, termasuk (1) pertahanan pada permukaan tubuh, (2) aktivitas bakterisidal dan fagositosis, (3) respons peradangan dan sistem komplemen, (4) respons antibodi dan (5) respons DTH (Delayed type hupersensitivity). Penyakit defisiensi yang herediter dan kongenital jarang terjadi, tetapi lebih banyak yang diperoleh sesudah lahir, baik sekunder dari penyakit lain atau karena pengobatan. Konsep defisiensi imun diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh kolonel Ogden Bruton dalam tahun 1952. Beliau melaporkan bahwa dalam serum seorang anak yang menderita berulang kali penyakit infeksi bakteri tidak dapat dideteksi adanya γ-globulin. Sejak peristiwa itu, kerusakan komponen humoral dan selular dari sistem imun berturut-turut diidentifikasi. Walaupun sudah banyak ditemukan tanda-tanda gangguan imunitas, baru kemudian diketahui bahwa fenomena defisiensi imun didasari juga oleh abnormalitas homeostasis dan “survaillance”. Kini telah jelas bahwa banyak dari gangguan-gangguan tersebut mempunyai kaitan dengan hubungan kekerabatan langsung atau adanya predisposisi untuk autoimunitas dan neoplasma. Ammann (1987) mengklasifikasikan gangguan dalam defisiensi imun dalam kelompok-kelompok gangguan sebagai berikut: 1. Gangguan imunodefiensi antibodi (sel B) 2. Gangguan imunodifiensi selular (sel T) 3. Gangguan imunodefisiensi gabungan humoral dan selular (AIDS termasuk kelompok ini) 4. Disfungsi fagositik Guskompindo print

penyakit yang timbul melalui wahana sistem imun

Penyakit-penyakit yang timbul melalui wahana sistem imun dapat dikelompokkan berdasarkan sifat antigen, yaitu: antigen eksogen, antigen homologus, dan antigen autologus. Kerusakan jaringan karena antigen eksogen menimbulkan penyakit hipersensitivitas atau alergi. Pada beberapa kejadian, kekuatan respons imun yang ditu¬jukan kepada antigen tersebut dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh yang lebih berat bahkan dapat sampai menyebabkan kematian. Kejadian ini terjadi pada reaksi hipersensitivitas atau reaksi alergi. Oleh karena itu pengertian dan pemahaman mekanisme yang mendasari kejadian yang merupakan penyakit tersebut merupakan suatu hal yang diperlukan untuk mendasari cara pengobatan dan pengendaliannya. Penyakit yang ditimbulkan oleh hipersensitivitas tersebut akan dibahas secara luas dan mendalam baik penyebabnya maupun imunopatogenesisnya dalam Bab 3. Berdasarkan perbedaan efektornya, reaksi hipersensitivitas dikelom¬pokkan menjadi 2 kategori, yaitu efektor humoral dan efektor selular. Efek yang ditimbulkan pada kategori per-tama disebabkan oleh antibodi yang dihasilkan terhadap antigen yang ditanggapi. Gejala yang timbul dapat dibangkitkan pula pada individu lain dengan cara memberikan serum yang mengandung antibodi, asal jumlah dan jenisnya sesuai. Selanjutnya dalam kategori ini dapat, dipilahkan adanya 3 tipe reaksi hipersentivitas berdasarkan mekanisme yang bekerja dengan melibatkan mastosit atau komplemen dan netrofil. Ketiga tipe reaksi ini mempunyai kesamaan dalam waktu timbulnya reaksi yang berkurun waktu antara beberapa menit sampai beberapa jam setelah terpapar oieh antigen/alergennya. Oleh karena itu ketiga tipe reaksi dari kategori pertama ini dimasukkan dalam reaksi hipersensitivi¬tas yang manifestasinya tidak terlalu lama. Sedang kategori kedua berlangsung lebih lama serta melalui mekanisme respons imun selular terutama melibatkan limfosit T dan makrofag. Timbulnya gejala bermanifestasi setelah 14-24 jam sehabis terpapar oleh alergennya. Tetapi sekitar dua dasawarsa yang lalu, reaksi hipersensitivitas Ti¬pe I yang tadinya dikenal sebagai reaksi anafilaksis serta timbul bebera¬pa menit setelah terpapar, ternyata berlanjut sebagai tahap lambat yang timbul lebih dari 24 jam kemudian. Bahkan kadang-kadang reaksi tipe ini timbul tanpa melalui tahap segeranya. Dengan demikian konsep bahwa ada 2 kategori reaksi hipersensitivitas yang didasarkan pada waktu timbulnya manifestasi perlu mengalami penyesuaian. Bahkan penyakit-penyakit yang merupakan manifestasi dari alergi tipe anafilaksis tersebut sebagian besar melanjutkan dalam tahap reaksi lambat. Penyakit-penyakit yang dimaksudkan misalnya asma bronkiale, rinitis alergika dan dermatitis atopika. Alergen sebagai penyebab reaksi alergi tersebut sebagian besar berasal dari lingkungan sehingga be¬lakangan ini ada kecenderungan pengkajiannya dalam cabang ilmu yang dinamakan sebagai "imunologi lingkungan". Respon imun yang diharapkan dapat melindungi tubuh yang sesungguh¬nya membutuhkan sistem pengaturan yang baik. Pengaturan tersebut selain bersifat ganda juga sangat rumit karena merupakan jaringan komunikasi antar komponen selular dan faktor humural. Gangguan mekanisme pengaturan ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi misalnya: cedera kongenital, ketidak seimbangan hormon, infeksi, kekurangan gizi, dan lain sebagainya. Kesemuanya ini dapat bermani¬festasi sebagai penyakit. Bentuk pengaturan yang penting melibatkan pencegahan agar res¬pons imun tidak berlangsung terhadap antigen diri (antigen autologus). Walaupun konsep baru mengenai fenomena autoimunitas mengatakan bahwa hal tersebut merupakan keadaan yang alami terjadi dalam tubuh, namun adanya penyakit autoimun yang disertai kerusakan jaringan tubuh tetap melibat¬kan proses respons imun yang tidak melindungi tubuh. Penyakit alergi dan autoimun merupakan dua penyakit imun yang penting dibahas dalam imunologi klinik, karena masih banyak masalah yang belum dapat dijelaskan, khususnya apabila menyangkut pengobat¬annya. Ditinjau dari antigennya kedua penyakit tersebut berbeda. Jika penyakit hipersensitivitas sebagian besar dipicu oleh antigen eksogen, penyakit autoimun dipicu oleh antigen yang bersifat autologus. Penyakit imun yang lain disebabkan oleh antigen homologus yang misalnya dijumpai pada peristiwa transfusi darah dan transplantasi jaringan atau organ, atau dapat ditemukan pada saat kehamilan. Ketika para pakar berhasil mencangkokkan ginjal pada manusia, publisitas pada bidang imunologi menonjol sejak tahun 60-an. Kemudian keberhasilan ini berlanjut untuk transplantasi organ-organ lain seperti jantung, hati yang juga menjadi bahan publisitas berikutnya. Penyakit imun yang lain yang tidak kalah pentingnya untuk diketa¬hui, walaupun kejadiannya tidak sebanyak kedua penyakit imun yang terdahulu, namun karena mekanismenya berbeda akan diungkapkan se¬cara khusus. Penyakit yang dimaksud ditimbulkan justru oleh karena kemunduran sistem imunnya sendiri. Penyakit-penyakit tersebut digolongkan dalam penyakit defisiensi imun, baik berbentuk kongenital maupun didapat setelah lahir. Termasuk kelompok tersebut yaitu pe¬nyakit AIDS yang melanda di Amerika Serikat, be¬nua Eropah, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Walaupun pada tahun 1993 di Indonesia ditemui hanya sekitar 80 kasus penderita AIDS, namun menjelang ta¬hun 2000, pada saat Indonesia makin banyak menerima wisatawan a¬sing, pastilah kejadian penyakit AIDS meningkat. Atas dasar ala¬san tersebut maka perlu dibahas beberapa aspek penting dari penyakit AIDS

Teori Immune surveillance

Teori "immune surveillance" (perondaan) yang diusulkan Thomas dalam tahun 1950 yang kemudian diperluas oleh Burnet, mengusulkan bahwa mekanisme imun yang menolak jaringan asing, khususnya imunitas selular, akan bekerja juga secara khas terhadap antigen yang timbul karena pertumbuhan neoplasma dalam individu normal sebagai hasil mutasi somatik. Hipotesis ini didukung oleh adanya antigen-anti¬gen pada permukaan sel yang mengalami pertumbuhan ganas sehingga dapat dikenal dengan sistem imun. Gangguan dari fungsi perondaan mengakibatkan pertumbuhan tu¬mor dalam tubuh, namun pada beberapa jenis tumor sistem imun sulit untuk mengenalnya. Untuk mengungkapkan hubungan imunologik antara tumor dan tubuh sebagai inang dan bagaimana memanfaatkan re-spons imun terhadap tumor agar dapat diterapkan dalam diagnosis, profilaksis dan terapi tumor, maka berkembanglah cabang imunologi yang dikenal sebagai imunologi tumor. Dengan meningkatnya kejadian tumor pada akhir-akhir ini, maka pembahasan imunologi tumor yang juga merupakan bagian dari imuno¬logi klinik akan melengkapi buku ini. Minat masyarakat umum bertambah meningkat dengan adanya aplikasi pengetahuan respon imun untuk mendeteksi dan mengelola kanker. Walaupun dalam Bab imunologi tumor dibahas sedikit tentang aspek terapi dan profilaksis, namun se¬cara khusus perlu pula dibahas pemanfaatan imunologi dalam bidang terapi dan profilaksis dalam konteks yang lebih luas. Hal ini tentu saja masih relevan dengan tujuan penulisan buku ini. Masalah klinik lain yang perlu dibahas, khususnya dengan berkem¬bangnya konsep-konsep baru, yaitu penyakit kulit yang berkaitan de¬ngan sistem imun (Bab 13). Kulit yang merupakan organ terbesar karena luasnya menutupi seluruh permukaan luar tubuh, semula hanya dianggap hanya sebagai alat pertahanan yang bersifat fisik saja. Namun Fichtelius et al., (1970) mengajukan hipotesis bahwa kulit merupakan organ limfoid primer seperti juga sumsum tulang dan kelenjar timus. Sejak Streilein dalam tahun 1978 memperkenalkan istilah SALT (Skin associated lymphoid tissue) beberapa peneliti memusatkan per¬hatiannya kepada epidermis, maka beliau menyarankan bahwa pelapis kulit tersebut merupakan bagian dari organ imunologik. Namun demikian, masih banyak sekali spekulasi tentang bagaimana caranya menempatkan fungsi imunologik kulit dalam konteks sistem imun umum. Hal tersebut timbul karena bukti-bukti yang pasti bahwa kulit berfungsi sebagai organ limfoid primer atau sekunder masih meng¬hadapi pertentangan pendapat dan menunggu konfirmasi pengkajian se¬lanjutnya. Pendekatan ilmiah kepada sistem imun kulit sebenarnya mempunyai riwayat yang telah mendapatkan perhatian jauh sebelumnya, karena Hippocrates (?460-377 SM), Plato (427-347 SM) dan Galen (?130-200) kesemuanya yakin bahwa kulit bukan semata-mata berfungsi sebagai pe¬lindung yang bersifat fisik saja, namun mempunyai keterkaitan dengan bagian-bagian tubuh lain yang digambarkan sebagai benang-benang jala seorang nelayan. Walaupun teori-teori mengenai kulit sebagai organ imunologik be¬lum mantap, namun sudah selayaknya apabila mekanisme imun pada beberapa penyakit kulit mendapatkan perhatian khusus agar pengelolaan penyakitnya akan memberikan hasil yang memuaskan. Dalam tahun 80-an masyarakat umum telah terbiasa terpapar oleh beberapa aspek pengetahuan imunologi dari berita oleh merebaknya penyakit AIDS yang merisaukan di beberapa negara. Walaupun penyakit AIDS yang digolongkan dalam penyakit defisiensi imun (Bab 7), namun karena etiologinya oleh virus HIV dapat digolongkan dalam penyakit infeksi juga. Hal yang penting lain dalam imunologi klinik adalah peran imunitas dalam pencegahan dan penyembuhan individu dari berbagai penyakit infeksi. Walaupun merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia namun kurang memperoleh tempat dalam publisitas. Dampak yang kuat terhadap kemanusiaan adalah keberhasilan imuno¬logi dalam mencegah dan memberantas sejumlah penyakit infeksi se¬perti cacar dan poliomyelitis yang tentu akan disusul dengan penyakit¬-penyakit lain. Adanya perkembangan imunologi pada akhir-akhir ini memberikan harapan kepada tindakan imunoprofilaksis terhadap ma¬laria dan penyakit parasit lain yang masih merupakan wabah yang menghantui berjuta-juta penduduk dunia. Vaksinasi tidak saja ditujukan terhadap penyakit-penyakit infeksi manusia, tetapi juga terhadap pe¬nyakit hewan piaraan dan hewan ternak (infeksi flu burung, flu babi). Dengan demikian imunologi secara tidak langsung dapat memberikan sumbangan untuk peningkatan bahan makanan daging yang pada gilirannya akan meningkatkan taraf hidup negara-negara terbelakang dan negara berkembang (Bab 11). Selanjutnya vaksinasi tidak saja dimaksudkan untuk memberantas penyakit infeksi, namun sekarang dikembangkan dalam pendekatan imunologi reproduksi hewan ternak dengan jalan mengatur kelahiran pada hewan piaraan seperti anjing dan kucing atau untuk tujuan keluarga berencana. Hal-hal tersebut mendorong kepada kita bahwa imunologi klinik perlu dikembangkan. Imunologi klinik bukan saja membahas penyakit-penyakit yang berkaitan dengan sistem imun, namun juga mempelajari semua tindakan yang melibatkan sistem imun ataupun mekanisme res¬pons imun. Tindakan-tindakan tersebut dapat untuk tujuan terapi, pencegahan atau diagnosis. Tindakan terapi misalnya penggantian organ melalui transplantasi atau sebagai imunoterapi (Bab 8). Akhirnya suatu hal yang kurang mendapat perhatian secara khusus pada berbagai buku ajar imunologi yaitu mengenai hubungan antara sistem imun dengan sistem saraf dan faktor kejiwaan. Hal ini penting dikemukakan agar bagi mereka yang mempelajari imunologi perlu me-nyadari bahwa apapun bentuk dan tingkat sistem yang ada dalam tubuh tidak terlepas dari adanya kenyataan bahwa faktor kejiwaan memegang peranan penting bagi tingkah laku dan kesehatan seseorang. Untuk me¬menuhi kekurangan tersebut, pada Bab khusus (Bab 16) akan dibahas secara selintas apa yang dinamakan cabang psikoneroimunologi. Apa yang diuraikan dalam Bab Pendahuluan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam Bab-Bab tersendiri sesuai dengan kepentingannya, se¬hingga akhirnya pembaca buku ini setelah mempelajari isinya akan me¬mahami mekanisme dan patofisiologi dari penyakit-penyakit imun.

Kamis, 26 Maret 2015

Penulis Subowo dr


Prof. Subowo, dr. MSc., PhD, dilahirkan di Probolinggo Jawa Timur pada tanggal 30 Agustus 1932. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1961, sebagai dokter. Pada tahun 1981, lulus dan memperoleh gelar MSc in Immunology dari Amsterdam University, Nederland. Kemudian pada tahun 1981, memperoleh gelar Doctor in Medical Sciences dari Kobe University Jepang. Carrier mengajar dirintis sejak di Universitas Gadjah Mada sebagai asisten mata kuliah Histologi, kemudian menjadi dosen di Universitas Hassanuddin Makassar dalam mata kuliah Anatomi dari tahun 1961 – 1967. Sejak 1967 menjadi dosen dan mengajar mata kuliah Histologi di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung sampai pensiun pada tanggal 1 September 2002. Pada tahun 1987, diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Mengajar Imunobiologi, pada Program Pascasarjana UNPAD dan ITB sampai tahun 2000. Tahun 2003 sampai sekarang mengajar matakuliah Histologi, Biologi Sel, mulai tahun 2007 mengajar: Critical Thinking, Filsafat Ilmu dan Imunobiologi dan Imunologi Klinik di Fakultas Kedokteran UNJANI Bandung. Buku-buku yang telah beliau tulis, di samping makalah dan artikel-artikel kesehatan lainnya, yaitu: Biologi Sel (Elstar Bandung, 1988), Histologi Umum (Bumi Aksara, 1992), Histologi Umum edisi ke-2, 2009 (Sagung Seto), Nerobiologi (Bumi Aksara, 1992) Imunobiologi (Angkasa, 1993), Imunologi Klinik (Angkasa 1993), Biologi Sel (Angkasa, 1995), Biologi Sel edisi 2, (Angkasa 2007), Imunobiologi edisi ke-2 (Sagung Seto, 2009).

BELANJA MURAH ON LINE

Mengenal ilmu imunologi

KESEHATAN SANGAT PENTING Profesor Subowo Share dengan guskompindo Sementara kita menghadapi kenyataan bahwa banyak dilakukan pembahasan aspek teoretik dari imunologi, kita menyadari bahwa aplikasi praktis imunologi mempunyai kepentingan yang besar untuk memperta¬hankan kehidupan makhluk terutama manusia, sehingga imunologi klinik merupakan pengetahuan yang diperlukan untuk tenaga kesehatan umumnya dan dokter khususnya. Imunologi klinik merupakan bagian dari imunologi secara umum, yang merupakan salah satu bidang kajian yang memusatkan penelaahan¬nya pada penyakit-penyakit imunologi primer. Untuk mempelajari imunologi klinik diperlukan pemahaman imunologi dasar atau imuno¬biologi. Walaupum imunologi klinik sebagai kelanjutan pengembangan imunobiologi, namun perjalanan riwayat perkembangannya bukanlah mengalami keterlambatan dari kemajuan imunobiologi. Dengan kepesa¬tan perkembangan imunobiologi dan teknologinya, imunologi klinik mengalami beberapa perubahan konsep yang mendasar. Bahkan tidak jarang konsep yang tadinya telah ditinggalkan, dengan diketemukan bukti-bukti baru, konsep lama diangkat ke permukaan kembali. Kejadian ini tidaklah mengherankan, oleh karena imunologi sebagai pengetahuan ilmiah tidak luput dari perkembangan konsep. Apalagi imunologi yang banyak memiliki hal-hal yang masih merupakan hipo¬tesis memerlukan fakta-fakta yang mendukungnya. Hal ini nyata sekali apabila kita simak karya-karya ilmiah imunologi dalam buku ajar, se¬ringkali mengalami perubahan konsep dalam kurun waktu yang sangat pendek. Kenyataan ini bukan berarti bahwa imunologi bertumpu pada teori-teori yang goyah, namun sebaliknya imunologi, dalam perkem¬bangannya, dengan cepat menuju ke kemantapan ilmu. Apabila kita si¬mak kembali kata-kata mutiara Claude Bernard, maka hal tersebut memang merupakan kewajaran dalam perkembangan ilmu. Theories are only hypotheses, verified by more or less numerous facts. Those verified by the most, are the best; but even then, they are never final, never to be absolutely believed. Theory must be continually altered to keep pace with the progress of science and must be constantly resubmitted to verification and criticism as new facts appear. Apabila kita kembali fungsi sistem imun yang meliputi perta¬hanan, homeostasis dan perondaan (surveillance), maka nampaknya sistem imun akan memberi keuntungan kepada tubuh. Imunitas yang ditujukan kepada antigen dari luar tubuh dimaksudkan untuk mengeluarkan antigen tersebut ataupun menetralisasi pengaruh yang merugikan. Walaupun demikian dalam proses imunitas akan terjadi juga kerusakan jaringan tubuh karena adanya kumpulan sel-sel imunokompe¬ten dan/atau pengaruh faktor humoral yang bersifat nonspesifik. Apabila penyerbuan tersebut dapat diatasi, kerusakan jaringan tubuh akan segera dapat pulih kembali. Kalau kita menyebut imunologi klinik, pikiran kita mengarah kepada penyakit-penyakit yang diderita, khususnya berhubungan langsung dengan sistem imun. Kenyataan yang kita hadapi, menunjukkan bahwa jumlah dan keanekaragaman penyakit-penyakit yang berhubungan dengan sistem imun cukup besar. Keadaan ini mendorong kita untuk membuat pengelompokan penyakit-penyakit tersebut. Tetapi upaya tersebut akan menimbulkan ketidak puasan, karena sulitnya membuat dasar-dasar pengelompokannya. Walaupun kategorisasi ini tidak terlalu memuaskan Bellanti melakukan pengelompokan penyakit yang berkaitan langsung dengan imunitas yaitu mencakup: 1) penyakit yang berwahana sistem imun, 2) gangguan proliferatif sistem imun, dam 3) penyakit defisiensi imun. Selanjutnya dalam aplikasi imunologi dalam klinik akan mencakup: immuno-profilakasis, imunoterapi, dam imunodiagnostik.